skip to Main Content
Kajian #1 – Kebebasan Pers Di Indonesia

Kajian #1 – Kebebasan Pers di Indonesia

Pada 5 April 2020 kemarin dunia jurnalistik Indonesia sempat dibuat memanas dikarenakan terdapat sebuah surat telegram dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang berisikan 11 poin didalamnya. Poin nomor satu merupakan salah satu alasan dunia jurnalistik Indonesia memanas karena bertuliskan bahwa media tidak boleh memberitakan tentang tindak kekerasan aparat.

Butir pertama surat telegram Polri : “Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.” 

Namun setelah mendengar aspirasi dari kelompok masyarakat akhirnya Kapolri Jenderal Listyo langsung mencabut surat tersebut. Beliau menjelaskan bahwa surat tersebut hanya berlaku untuk internal Polri itu sendiri saja dan bukan untuk masyarakat luas. Walaupun surat tersebut sudah dicabut namun hal tersebut tetaplah merupakan ancaman bagi kebebasan pers itu sendiri. Karena media/pers ini merupakan pilar keempat demokrasi yang mengawasi dan juga menginformasikan segala bentuk kejadian dari pemerintah beserta jajarannya.

Memang terdapat kerancuan dalam surat telegram polri ini, hal tersebut dikatakan oleh salah satu dosen Universit Al Azhar Indonesia Yuri Arifin.

“Dalam UU Pers no 40/1999 pasal 4 ayat 1 hingga 3 memang sudah secara jelas hak kemerdekaan pers dijamin sepenuhnya oleh UU. Jadi tindakan Kapolri di awal menerbitkan telegram tersebut yang ditujukan untuk media (tanpa ada kata-kata “untuk media di lingkungan kepolisian RI”) memang tidak tepat karena gaya seperti itu berarti mengembalikan pers Indonesia ke masa Orba. Namun, dengan adanya pencabutan dan penjelasan bahwa telegram tersebut sebetulnya hanya dimaksudkan untuk media di lingkungan Polri, ya berarti sudah bukan masalah lagi. Konsekuensinya, saat jurnalis melakukan liputan di lapangan, polisi tidak berhak untuk membatasi atau melarang kerja para jurnalis.” Ujar beliau.

            Pernyataan dari bapak Yuri tersebut selaras dengan salah satu mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia yang keberatan dengan butir tersebut yaitu Zahrany Fairuz Syifa.

“Surat telegram tersebut sama saja menghambat kinerja jurnalis, karena media dilarang meliput sama saja seperti menyembunyikan suatu informasi yang bisa menutup demokrasi. Fungsi dari pers justru menjadi kontrol jalannya pemerintahan dan penegak hukum.” Jawab Zahrany.

            Namun terdapat pandangan yang berbeda dari salah satu mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia Bunga Nurhalizah Rojikin yang menyetujui adanya larangan penayangan tindak kekerasan dari kepolisian.

“Adanya surat pelarangan tersebut, menurut aku jadi banyak banget penafsiran yang beragam. Tapi di satu sisi aku setuju adanya pelarangan penyebaran tindakan kekerasan, karena buat anak-anak di bawah umur yang kurang pengawasan dari orangtuanya liat tayangan kekerasan mereka bisa niruin adegan kekerasan tersebut.” Jawab Bunga.

            Terlepas dari setuju atau tidak setujunya masyarakat dengan butir-butir dalam surat telegram tersebut, masyarakat dapat sedikit menurunkan tensi nya dikarenakan surat tersebut hanya diperuntukan bagi internal Polri itu sendiri. Namun ini bukan kali pertama terjadi polemik dalam “kebebasan pers”, tim Kasmarat KOMIK mendapati bahwa terdapat 4 pasal dalam RUU KUHP yang dapat dianggap mengancam kebebasan pers.

Pasal 219 tentang Penghinaan terhadap Kepala Negara

Pasal 241 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah

Pasal 281 tentang Penghinaan terhadap Pengadilan

Pasal 440 tentang Pencemaran Nama Baik

Pasal-pasal diatas dapat dianggap mengancam kebebasan pers dikarenakan pemaknaan dari perkata yang masih kurang kuat. Misalkan pada pasal 219 tentang penghinaan terhadap kepala negara tersebut yang dimaksud dengan kata penghinaan belum dapat dipahami dengan jelas. Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai adanya, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini akan rentan ‘memberangus’ kebebasan berdemokrasi. Sebab, nantinya masyarakat yang mengritik kepala negara, maka bisa terkena ancaman hukuman pidana.

Tidak hanya pada RUU KUHP namun dalam UU ITE juga terdapat beberapa pasal yang dapat mengganggu kebebasan pers itu sendiri. Dari LBH Pers sudah menyimpulkan bahwa terdapat 5 pasal yang dianggap menghambat kebebasan pers.

Pasal 26 ayat (3), tentang Penghapusan Informasi Elektronik

Permasalahan dalam kebebasan pers ini sendiri tidaklah berhenti pada pasal-pasal diatas, namun terdapat juga kekerasan yang dialami oleh para pekerja pers ini. Terakhir pada 27 Maret 2020 telah terjadi kekerasan terhadap jurnalis di Surabaya. Kala itu korban sedang mendapat tugas untuk menjalankan tugasnya sebagai jurnalis untuk mengkonfirmasi mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Angin sebagai tersangka dalam kasus suap pajak. Namun sayangnya korban tidak mendapat perlakuan yang seharusnya didapatkan bersangkutan mengenai haknya sebagai jurnalis. Korban berinisial N tersebut mendapat kekerasan verbal, fisik, ancaman pembunuhan, bahkan perampasan ponsel.

Tindak kekerasan seperti ini tentulah bukan pertama kali terjadi pada jurnalis, pada tahun 2020 lalu LBH Pers menyatakan bahwa kasus kekerasan mencapai angka tertinggi di era reformasi ini yaitu sebanyak 117 kasus kekerasan terhadap jurnalis atau 30% meningkat dari tahun sebelumnya.

Perlindungan terhadap wartawan bukannya tidak disadari oleh pembentuk Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Pasal 8 UU Pers secara eksplisit menyatakan, bahwa dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh perlindungan hukum. Namun begitu perlindungan hukum yang dimaksud tak begitu jelas dan tegas. 

Sumber :

Back To Top